Langit senja berubah warna, jingga ke ungu pekat. Di tengah kegelapan yang semakin merangkak, suaramu menjadi semakin samar. Burung-burung hitam kecil yang biasanya terbang dengan percaya diri kini kebingungan mencari jalan pulang. Aku berdiri di pinggir jalan setapak, memperhatikan kepergianmu yang perlahan lenyap bersama cahaya senja.
Saat burung-burung itu semakin gelisah, aku mendengar suaramu kembali, meski lebih lemah dari sebelumnya. “Aku lupa katanya. Lalu dia bertanya kepadaku, kemana arah jalan pulang?”
Pertanyaan itu membuatku terdiam sejenak. Bagaimana bisa aku yang baru saja tiba di tempat ini tahu jawabannya? “Aku orang baru di sini,” jawabku akhirnya, “bagaimana mungkin aku menunjukkan arah kepadamu?”
Tiba-tiba, suara lain muncul dari balik kegelapan, tenang dan tegas. “Mudah saja, di mana tempat yang gelap duluan, itulah rumahmu.”
Aku tertegun. Bagaimana mungkin gelap menjadi petunjuk jalan pulang? Bukankah rumah seharusnya menjadi tempat cahaya menerangi? Pikiranku terombang-ambing antara logika dan misteri yang baru saja kuhadapi. Akhirnya, aku mengumpulkan keberanian untuk menjawab, “Eh bentar, bukankah rumah itu adalah cahaya yang menerangi?”
Suara itu kembali, kali ini dengan nada yang lebih tenang, seakan menjelaskan kebenaran yang sederhana namun mendalam. “Itu kata siapa?”
Dalam keheningan yang mengikutinya, aku merenungkan kata-katanya. Mungkin selama ini aku salah mengartikan arti rumah. Bukan cahaya yang menerangi atau tempat yang gelap, melainkan perasaan yang membuat kita merasa pulang. Entah di mana atau bagaimana tempat itu, yang terpenting adalah rasa hangat yang menyertainya.
Aku memandang burung-burung kecil yang masih berputar-putar mencari arah. Kini aku tahu, seperti halnya mereka, aku pun akan menemukan jalanku sendiri, terlepas dari gelap atau terang. Karena rumah sejatinya adalah tempat di mana hati merasa tenang.
No comments:
Post a Comment