a. Wilayah
pengembangan Utara disebut zone Batur Agung dengan ketinggian antara 200-700
meter di atas permukaan air laut, kondisi lahan berbukit dan cirinya terdapat
sungai di atas tanah, terdapat sumber air tanah, dapat digali sumur dengan
kedalaman 6-12 meter dari permukaan tanah. Adapun jenis tanahnya vulkanis
lateristik dengan batuan induksit dan andesit. Wilayah zone ini meliputi
kecamatan Patuk, Nglipar, Gedangsari, Ngawen, Semin, dan Pnjong bagian utara.
Luas wilayah ± 42,283 Ha, wilayah ini berpotensi sebagai obyek ekowisata hutan
dan alam pegunungan.
b. Wilayah
Pengembanan Tengan disebut zone Ledoksari dengan ketinggian 150-2—meter di atas
permukaan air laut, disaat kemarau panjang zone ini masih terdapat air, jenis
tanahnya magalit, terdapat sungai di atas tanah, air tanah terdapat pada
kedalaman 60-120 meter dari permukaan tanah. Wilayah ini
meliputi kecamatan Playen, Wonosari, Karangmojo, Semanu bagian utara dan
Ponjong bagian tengah. Luas wilayah ini ± 27,908 Ha, berpotensi untuk
agrowisata pertanian
c. Wilayah
Pengembangan Selatan disebut zone Pegunungan Seribu dengan ketinggian 100-300
meter di atas permukaan laut. Keadaan berbukit-bukit karang kapur serta banyak
telaga, goa dan luweng dant tidak terdapat sungai dan kebanyakan didalam tanah.
Wilayah ini terdiri dari Kecamatan Tepus, Tanjungsari, Panggang, Purwosari,
Paliyan, Saptosari, Rongkop, Girisubo, Semanu bagian selatan dan Ponjong bagian
selatan. Luas wilyah ± 78,908 Ha, berpotensi untuk wisata pantai, goa,
pegunungan karst dan budaya sejarah.
ASAL MUASAL GUNUNGKIDUL
Pada
waktu Gunungkidul masih merupakan hutan belantara belum banyak dihuni orang, di
sebuah desa yang bernama Ponggangan sudah dihuni beberapa orang pelarian dari
Majapahit. Pemuka kelompok itu bernama
R. Dewa Katong yang masih bersaudara dengan Raja Brawijaya. Di desa itu R.Dewa Katong bertapa dengan
maksud agar anak cucunya kelak dapat menjadi orang terkemuka serta memegang
tampuk pemerintahan. Kemudian diperolehnya wangsit, lalu ia pindah ke hutan
sekitar 10 km dari tempatnya bertapa, sampai ia meninggal. Sehingga desa itu
dinamakan Desa Katongan.
Sepeninggal
ayahnya, anaknya yang bernama R. Suromejo giat membangun desa Ponggangan
sehingga menjadi ramai dan banyak dihuni orang. Kemudian R.Suromejo berpindah
tempat di sebuah tempat yang ditumbuhi pohon mojo didekat sebuah batu karang
dan sekarang tempat itu dinamakan Karangmojo.
Lama-kelamaan
Desa Karangmojo semakin berkembang pesat dan akhirnya didengar oleh Raja
Mataram yaitu Sultan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartasura. Kemudian
Raja mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso untuk membuktikan adanya
orang-orang pelarian Majapahit. Setelah terbukti, Tumenggung Prawiropekso
menasehati agar Ki Suromejo meminta ijin kepada Raja Mataram karena desa
tersebut termasuk wilayah kekuasaan Mataram. Tetapi Ki Suromejo tidak mau
meminta ijin yang akhirnya terjadi perselisihan. Pertempuranpun terjadi, tetapi
karena kekuatan yang tidak seimbang, pasukan Ki Suromeja dapat dilumpuhkan.
Ki
Suromejo memiliki 4 orang putera yaitu Ki Mintowijoyo, Ki Poncobenawi, Ki
Poncosadewo dan Ki Poncodirjo. Keempat bersaudara ini dalam perang Mangkubumen
dapat ditaklukkan oleh Pangeran Sambernyawa, bahkan tiga puteranya terbunuh dan
hanya tinggal Ki Poncodirjo. Setelah
takluk, Ki Poncodirjo oleh P. Sambernyawa
diangkat menjadi Bupati I Gunungkidul.
Bupati
Tumenggung Poncodirjo tidak lama menjabat bupati karena ada penentuan batas
daerah Gunungkidul antara Sultan dengan Mangkunegara II pada tanggal 13 Mei
1831, maka Gunungkidul pada saat itu (dikurangi Ngawen sebagai daerah Enclave
Mangkunegaran) telah menjadi Kabupaten. Setelah Gunungkidul menjadi bagian
Kasultanan Yogyakarta, Bupati Poncodirjo diberhentikan dan diganti Bupati
Tumenggung Prawirosetiko. Pada
masa ini, kedudukan kota kabupaten dialihkan dari Ponjong ke Wonosari.
Wonosari yang dipilih Tumenggung Prawirosetiko sebagai
ibukota menurut cerita rakyat yang dihimpun oleh KRT. Partahadiningrat dengan judul “Babat
Alas Nongko Doyong” Dumadine Kutho Wonosari, telah ada dan dibuka oleh seorang
Demang Piyaman bernama Wonopawiro.
Karena Demang Wonopawiro berjasa membuka Alas Nongko Doyong, maka ia
diangkat menjadi sesepuh demang sampai akhir hayatnya di Piyaman.
Di samping itu, untuk memperkuat eksistensi Gunungkidul adalah pertapaan
Kembang Lampir, di sebuah Desa Girisekar Kec. Panggang. Tempat ini dahulunya
adalah tempat pertapaan Ki Ageng Pemanahan yang ingin memperoleh wahyu agar
dapat menurunkan raja-raja di Jawa.
Dari semedinya diperoleh wangsit bahwa ia akan mendapatkan wahyu gagak emprit yang
bertempat di sebuah ranting yang telah lapuk. Setelah ranting didekati, wahyu
gagak emprit gaib dan muncul Sunan Kalijaga. Ki Ageng Pemanahan diberitahu oleh
Sunan Kalijaga bahwa wahyu kraton berada di Desa Giring (Kec,Paliyan). Akhirnya Ki Ageng Pemanahan pergi
ke Giring. Untuk mempercepat perjalanannya Ki Ageng Pemanahan dilemparkan (dikipatake) oleh Sunan Kalijaga agar jatuh di Desa
Giring. Tetapi Ki Ageng Pemanahan jatuh di sebuah desa lain. Tempat jatuhnya Ki
Ageng Pemanahan muncul sebuah sumber/tuk yang terletak di Desa Mulusan.
Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Desa Giring.
Karena perjalanan jauh, Ki Ageng Pemanahan merasa haus dan secara kebetulan di rumah Ki Ageng Giring terdapat kelapa muda (degan). Maka tanpa menanti
Ki Ageng Giring yang sedang jamas/mandi di sungai, diminumnya air kelapa muda
itu sampai habis. Ternyata wahyu kraton
yang dimaksudkan Sunan Kalijaga tersebut berada di dalam kelapa muda itu dan bernama “Wahyu Poncopurbo”. Betapa
terkejutnya Ki Ageng Giring karena kelapa muda yang akan diminumnya telah
dihabiskan Ki Ageng Pemanahan. Dan terjadilah perselisihan, namun akhirnya
disadari oleh Ki Ageng Giring, bahwa yang ditakdirkan menurunkan raja-raja Jawa
adalah Ki Ageng Pemanahan. Apabila dihubungkan antara Ki Ageng Pemanahan
yang akan menurunkan raja-raja jawa dengan eksistensi Gunungkidul, maka dalam sejarah diketahui
bahwa yang mengangkat dan memberhentikan Bupati Gunungkidul adalah Raja/Sultan
Yogyakarta. Adapun Raja Mataram/Kraton Yogyakarta adalah keturunan Ki Ageng
Pemanahan
Sumber:
Tim
Penyusun. (2012). Data Potensi Kebudayaan
dan Kepariwisataan Kabupaten Gunungkidul Tahun 2012. Wonosari
SOROTAN UNTUK ASAL MUASAL GUNUNG KIDUL
ReplyDeleteSebelumnya saya mohon maaf dalam berkomentar.. Mohon kalau membuat artikel yang berbau sejarah jangan asal tulis, jangan asal comot sana sini, jangan asal copy paste dari sumber lain dan harus bisa membuktikan sumber sejarahnya sehingga bisa menjadi acuan bukan malah menyesatkan sejarah… Dari artikel ini menurut saya telah terjadi “PENYESATAN SEJARAH” sehingga akan membawa pembaca untuk meyakini suatu hal yang salah..! Parahnya kalau hal ini disebarluaskan sehingga membawa dampak buruk yaitu pembodohan terhadap masyarakat. Beberapa hal yang menurut saya terjadi kejanggalan dan kesalahan dalam hal ini adalah;
1. Kalau tokoh yang bernama “R. Dewa Katong” itu benar saudara Brawijaya V, pertanyaan saya adl berapa umur beliau sampai dengan meninggalnya..?? Karena Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) itu telah wafat pada tahun 1478, mungkinkah beliau berumur lebih dari 300 tahun..??? karena hanya dua generasi ke Pontjodirjo. Demikian juga anaknya yang bernama R Suromejo, benarkah beliau anak dari “R Dewa Katong”..? Apakah mungkin beliau juga berumur ratusan tahun…?
2. Pada tahun 1830 an, Kerajaan Mataram sudah tidak ada lagi..!, Terus Mataram yang mana saat itu? Karena yang ada adalah KASUNANAN SURAKARTA, KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT, PROJO MANGKUNEGARAN dan PROJO PAKU ALAMAN.
3. Amangkurat Amral atau Amangkurat II adalah Raja Mataram yang memerintah tahun 1677-1703, mungkinkah terjadi beliau masih hidup pada tahun 1830 an..? kalau ternyata atau misal terjadi kesalahan tahun pelantikan bupati I GK, inipun juga terjadi periode waktu yang membingungkan, karena bagaimana mungkin beliau memerintahkan orang yang pada jamannya beliau berkuasa orang itu ( Pangeran Sambernyowo) belum lahir…??
4. Kalau benar Bupati I Gunung Kidul Pontjodirjo di lantik pada tahun 1831 oleh Pangeran Sambernyowo atau KGPAA Mangkunegoro I hal ini terjadi suatu kesalahan periode lagi..! Karena Beliau memerintah tahun 1757-1795. Bagai mana mungkin beliau bisa “Hidup lagi” pada tahun 1831 hanya untuk melantik Pontjodirjo menjadi bupati Gunung Kidul..?? Yang bergelar “PANGERAN SAMBERNYOWO” itu hanya RM Sahid atau Mangkunegoro I dan yang memberi gelar itu adalah Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam setiap peperangan RM. Sahid selalu membawa kematian atau menebar maut bagi musuh-musuhnya. Tidak ada Pangeran lain yang bergelar Sambernyowo meskipun di lingkungan Mangkunegaran sendiri. Kalau Pontjodirjo benar dilantik oleh pihak Mangkunegaran yang paling memungkinkan dan pas adalah Mangkunegoro II karena beliau memerintah tahun 1796-1835 tetapi beliau tidak bergelar Sambernyawa.
Terima kasih...
mohon maaf Pak, sumber sudah tercantum jelas disitu.
Deletebisa di cek di dinas pariwisata gunungkidul, atau perpus kabupaten gunungkidul.
kalau memang ada kesalahan, dan ada sumber yang lebih akurat, maka akan lebih baik buku2 itu jga segera ditarik dari peredarannya.