Paulo Freire merupakan tokoh pendidikan dan teoritikus pendidikan yang berpengaruh di dunia, lahir pada tanggal 19 september 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di timur laut Brazil. Ayahnya bernama Joquim Temistockles Freire, yakni seorang polisi militer tidak terlalu taat pada agama, sehingga jarang sekali pergi ke gereja. Sedangkan ibunya Edeltrus Neves Freire, beragama Katolik. Ibunya ini berasal dari Pernambuco.
Keluarga
Freire Berasal dari kelas menengah, tetapi sejak kecil dia hidup
dalam situasi miskin,
karena keluarganya tertimpa
kemunduran finansial yang
diakibatkan oleh krisis
ekonomi yang melanda
Amerika Serikat
sekitar tahun 1929 dan juga menular ke Brazil.
Pada tahun 1959, ia meraih gelar doktor dalam bidang sejarah dan filsafat pendidikan. inilah saat di mana ia pertama kali mengemukakan pemikirannya tentang filsafat pendidikan melalui desertasinya di Universitas Recife, dan kemudian melalui karya-karyanya sebagai guru besar sejarah dan filsafat pendidikan di Universitas Recife, juga dalam berbagai percobaannya dalam pengajaran kau buta huruf di kota yang sama.
Corak Pemikiran Paulo Freire
Pemikiran
Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah
masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”.
Masyarakat feodal (hirarkis) adalah
struktur masyarakat yang umum berpengaruh di
Amerika Latin pada saat itu. Terjadi perbedaan
yang mencolok antara masyarakat feodal strata “atas” dengan masyarakat
strata “bawah”. Golongan
atas menjadi penindas
masyarakat bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi
kekayaan, karena itu menyebabkan
golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum
tertindas kepada para penindas itu.
Kehidupan
masyarakat yang sangat kontras pada waktu itu melahirkan suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan
kebudayaan “bisu”. Kaum tertindas
dalam kebudayaan bisu
hanya menerima begitu
saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan ada ketakutan pada kaum
tertindas akan adanya kesadaran tentang
ketertindasan mereka. Diam atau bisu dalam konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang
tidak adil, akan tetapi mereka tidak
memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Dalam konteks
yang demikian itulah
Freire bergumul. Ia terpanggil
untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”.
Pada akhirnya Paulo Freire berpendapat
bahwa Pendidikan dengan “gaya bank” yang
diterapkan pada waktu itu
sebagai salah satu sumber
yang mengokohkan penindasan dan kebisuan tersebut. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadap-masalah” sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu.
Selain itu,
pemikiran Freire tidak
terlepas dari kecenderungannya yang radikal, revolusioner,
dan dialogis. Cara pandang Freire yang seperti ini merupakan cara dalam melibatkan
diri sebagai subyek yang kritis terhadap pendidikan yang dinilai sebagai produk
intelektual yang “bisu” akan gejala sosial yang terjadi dengan penuh penindasan
di Amerika Latin saat itu. Hal ini dapat
ditelusuri dari perkataan Freire sebagai
berikut: “Orang radikal yang merasa
terpanggil bagi
usaha pembebasan manusia, tidak
akan menjadi tawanan
dari sebuah “lingkaran kepastian” di
mana ia juga
memenjarakan realitas. Sebaliknya, semakin radikal seseorang semakin jauh ia masuk ke dalam realitas, karena dapat mengetahuinya dengan lebih
baik. Ia dapat mengubahnya dengan
lebih baik, ia tidak takut untuk berhadapan dengan apapun untuk mendengarkan
dan menyaksikan dunia yang terkuak. Ia tidak
gentar untuk bertemu muka dengan rakyat serta berdialog dengan
mereka. Ia tidak
menganggap dirinya sebagai pemilik
sejarah atau manusia, atau pembebasan kaum tertindas, tapi ia mengabdikan dirinya
di dalam sejarah
untuk berjuang di
pihak mereka”. Radikalisme Freire tersebut dilandasi oleh tatanan pikiran Freire yang terfokus pada upaya menumbuhkan kesadaran manusia akan relitas yang mengungkungnya. Daya tarik dan kekuatan
Freire adalah kejujurannya dalam mengungkapkan, menyatakan,
tentang kondisi kemanusiaan
yang telah sedemikian rapuh, di mana kita sendiri justru
sering bersikap tidak manusiawi dalam menghadapinya. Freire
tampil dengan suara
lantang menyatakan sikapnya terhadap kenyataan sosial yang
carut-marut.
No comments:
Post a Comment